Wellcome... take a look at Math a bit deeper

pmatanjar.blogspot.com

Monday, December 20, 2010

Mengatasi Jebakan Logika Dengan Whole Brain Thinking

Menyuruh otak kiri bekerja lebih keras adalah cara berpikir yang efektif untuk menghadapi rutinitas pada situasi mapan yang tidak banyak berubah. Dalam kasus ini otak kanan akan lebih banyak menganggur dan tidak digunakan. Karena itu untuk kreatif biasakanlah otak kanan sesekali mengontrol agar kita tidak terjebak oleh cara berpikir satu arah saja.
Banyak orang masih terjebak dalam jebakan logika yang menyebabkan mengapa seseorang menjadi bersikap atau berpikir salah, kurang fungsional dan kaku sehingga sulit meraih kesuksesan. Ada 9 jebakan logika:
1.      1. Pemikiran sempit (partialism)
Gejalanya adalah wawasan terbatas atau dibatasi (kaca mata kuda) bahkan cacat. Si pemikir hanya melihat masalah dari sudut pandang yang paling dikuasainya saja. Pada akhirnya kemahiran berargumentasi dan ngotot sajalah yang dapat diandalkan untuk memenangkan hasil pemikirannya agar dapat diterima oleh orang lain.
2.      2. Angkuh dan Congkak (arrogance and conceit)
Saya sudah 50 tahun bekerja di idang ini, tentulah saya lebih memahami dari pada Anda”.  Kalimat ini biasanya cukup efektif untuk menyudahi pembicaraan. Walaupun sebenarnya bukan jawaban yang memuaskan untuk masalah yang dibahas. Kesalahan ini adalah yang paling sulit untuk disadari, karena tampaknya logis sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi. Namun bisa saja orang tersebut memang sudah 50 tahun bekerja namun ilmunya hanya itu-itu saja atau pengalaman 1 tahun namun diulang sebanyak 49 kali lipatnya.


3.      3. Bertolak belakang (Extremes)
Seringkali hal-hal baru mendorong kita untuk berpikir ekstrem, melihat perbedaan yang bisa terjadi sehingga menolak tanpa memperhitungkan segi positifnya
4.      4. Berdasarkan dimensi zaman (Time Scale)
Pola pikir dimensi waktu ternyata sering mengecoh pemahaman kita mengenai perubahan, bahkan ada kebiasaan lama yang populer kembali.
5.      5. Melibatkan Ego (Ego Involvment)
Saya sangat yakin pendapat saya benar. Yang tidak setuju silakan keluar”. Takut kelihatan bodoh atau kehilangan wibawa, sering menjebak seseorang untuk tetap bertahan pada alur pendapat yang sudah jelas lemah. Banyak keputusan akhirnya diambil hanya untuk menyelamatkan muka orang yang disegani itu agar sama-sama senang (to keep every body happy). Namun bila ternyata keputusan itu salah semuanya jadi ikut merugi.
6.      6. Mengacu pada pendapat lama (initial judgement)
Gejalanya adalah mengarahkan proses berpikir untuk membahas pendapat populer yang sudah ada mengenai masalah tersebut, bukan mengeksplorasi situasi untuk mendapatkan solusi atau pendapat baru yang lebih sesuai. Prasangka, Emosi, serta takhayul dan segala bentuk pencemaran logika tidak terdeteksi lagi. Semua menelaah dengan logika yang mendasari pendapat buku tersebut, tentu saja hasilnya akan sama.

7.      7. Merasa benar sendiri (egocentricity)
Lho begitu saja susah, Saya biasanya dengan mudah dapat melakukannya”. Baginya memang mudah, namun bagi orang lain yang berbeda ilmu hal ini mungkin benar-benar sulit. Memandang diri sendiri sebagai ukuran penilaian segala sesuatu sering kita jumpai dalam banyak kegiatan. Dan hal ini bisa saja merugikan karena hal ini sering kali dengan menganalisis berbagai sudut pandang kita bisa lebih bisa fleksibel dan menghargai orang dalam menangani masalah.
8.      8. Salah Fatal (Magnitude Error)
Mana yang lebih berat antara 1 kg besi dan 1 kg kapas”. Jawaban spontan yang sering kita dengar: Tentu kapas. Bahasa sering kali menekankan segi kualitatif  dibandingkan dengan segi kuantitatifnya pada segala hal. Logika sering kali menghadapi kesulitan dalam menghadapi masalah ukuran.
9.      9. Pemikiran salah benar (Adversary thinking)
Anda sudah terbukti salah mengerjakan yang lain, yang lainnya juga pasti salah. Kedengarannya logis, namun sebenarnya sangat tidak logis itu hanyalah kelemahan seseorang pada satu sisi saja, bukan kesalahan yang fatal. Membandingkan suatu pendapat dengan pendapat lain secara dikotomi (benar-salah) ini sudah menjadi standar prosedur berpikir kita di segala kehidupan. Anehnya, tidak seorangpun yang pernah mempersoalkannya bahwa cara menarik kesimpulan dikotomi ini tidak selalu benar. Dalam banyak kasus keduanya bisa sama-sama benar. Karena melihat masalah dari sudut pandang masing-masing yang berbeda Bila digabungkan (teas-antitesa) sebenarnya akan memberikan pendapat baru yang lebih baik (sintesa), dari pada harus memilih salah satu.

Dengan memahami jebakan logika ini, kita bisa menerima bahwa penyimpangan-penyimpangan hasil pemikiran adalah hal yang wajar dan perlu diperbaiki. Berpikir itu bukan hanya logika atau intuisi saja. Keduanya digunakan saling bergantian untuk keperluan tertentu sesuai dengan masalah yang dihadapinya, dengan satu lebih dominan dan yang lainnya mendampingi sebagai rujukan atau kontrol.
Dengan menggunakan otak kita secara seimbang kita bisa mengasah keterampilan fungsional. Berikut beberapa keterampilan berpikir fungsional yang sebaiknya kita tingkatkan untuk meraih kesuksesan dalam hidup:


  •      Cermat dalam mendapatkan fakta
  •      Cepat melakukan observasi yang kritis dan berpikir mandiri
  •           Pintar mengemukakan ide
  •      Pandai memecahkan masalah dan mengambil keputusan
  •      Memilih untuk lebih bahagia
  •           Singkirkan harus
  •         Ciptakan soundtrack hidup Anda
  •      Singkirkan sabotase

    2 comments:

    1. Anonymous7:09:00 AM

      Ya....kadang-kadang logika itu menjebak

      ReplyDelete